Tik.
Tok. Tik. Tok.
Sudah
hampir satu setengah jam aku duduk mematung hanya memandanginya yang tertidur
lelap di sisi lain tempat tidur King Size
ini. Satu tangannya tergeletak di pangkuanku seakan menahanku agar tak pergi.
Tetapi beranjak pun aku, ia tak akan sadar. Aku yakin ia tidur cukup nyenyak
hingga tak akan terusik bila ada gempa sekalipun. Perlahan kuamati punggungnya
yang tertutup selimut itu bergerak naik turun seiring helaan nafasnya.
Sayup-sayup dengkuran lembut terdengar dari tenggorokannya. Ah, seingatku sudah
berkali-kali kukatakan padanya untuk tidak tidur tengkurap agar ia tak
kesulitan bernafas, tapi seperti biasa selalu direspon dengan cengiran khasnya.
Cinta.
Hanya
satu kata itu yang bisa aku lontarkan ketika benak ini menyerbuku dengan ribuan
pertanyaan. Aku sangat mencintai laki-laki ini. Tidak ada yang tidak aku kagumi
dari dirinya kecuali satu, ketidaksetiaannya. Ia bisa sangat mencintaiku sementara
di sisi lain dari dirinya selalu mencari kehangatan dari wanita lain. Aku
pernah sangat ingin meninggalkannya sebelum ia akhirnya meminta maaf dan
berjanji tak akan mengulangi.
"Aku
tidak ingin anakku yang dikandung oleh wanita yang sangat aku cintai lahir
tanpa ayah, Sri", kalimat pamungkasnya yang menghentikan langkahku untuk
pergi waktu itu. Tapi janji setia itu tak bertahan lama. Bayi yang
kutunggu-tunggu ternyata tidak ditakdirkan untuk menyatukan ayah ibunya. Aku
keguguran. Dan seperti yang telah aku kira, suamiku kembali mengulangi
kesalahannya.
Dua
bulan sudah kami tak bertemu, dan sekarang aku kembali di sini.
Di
sisinya.
Surat
cerai yang tadinya aku bawa untuk ditandatanganinya dibiarkan tergeletak di meja
kamar hotel. Aku hanya bisa menghela nafas. Tak kusangka aku begitu lemah
terhadap uraian air matanya yang memohon. Dengan mudah aku luluh dalam
pelukannya yang berakhir di kamar ini. Beginikah ia menjerat wanita-wanita itu
agar bersedia menghabiskan malam dengannya walaupun mereka mengetahui ia pria
beristri? Atau menikahkah yang ia janjikan kepada mereka? Aku tak pernah tahu.
Yang aku tahu pasti, aku sudah kembali terjebak dalam situasi yang tidak jelas
ini.
Perlahan
aku beranjak dari tempat tidur. Aku harus melakukan sesuatu yang seharusnya
dari dulu kulakukan. Aku ambil secarik kertas dan mulai menulis. Aku harus
menyelesaikannya secepat mungkin sebelum Mas Bastian terbangun dan mendapatiku
masih di sini.
~
"Assalamualaikum Mas
Bastian...." ~
***
Ah,
sudah pagi.
Aku
menggeliat sejenak meregang syaraf-syaraf dan ototku agar terbangun sempurna.
Tidur yang sangat nyenyak sejak, well,
hampir dua bulan dihantui mimpi buruk. Tentu saja mulai hari ini tak akan ada
lagi hari tanpa mimpi indah karena Sri sudah kembali kepadaku. Aku sudah
membulatkan tekad sejak terakhir kali ia pergi dari rumah. Aku ingin berubah.
Aku ingin kembali menjadi Bastian yang hanya mencintai istrinya, Sri. Aku ingin
Sri tahu betapa keras usahaku meninggalkan semua kebiasaan burukku. Minuman
keras yang tak lagi kusentuh, klub-klub malam yang tak lagi kusinggahi, bahkan
perempuan-perempuan malam yang tak lagi kulirik. Semua hanya karena aku ingin
Sri kembali kepadaku.
Hampir
saja semua usahaku gagal ketika kulihat kemarin sore ia mengajakku bertemu
hanya untuk mengantarkan surat cerai itu. Sri yang terlihat agak kurus, tapi
begitu manis, membuatku ingin segera memeluknya. Persetan dengan surat cerai
itu. Tak akan terlintas sedikitpun di pikiranku untuk berpisah dari istriku.
Dan aku telah mengutarakan janji itu padanya semalam. Malam panjang yang bahkan
lebih indah daripada malam pertama kami dulu.
"Sri.."
Dimana
dia?
Sesuatu
yang berwarna putih berkilau terkena cahaya matahari menarik perhatianku. Aku
menarik selimutku dan berjalan mendekati benda itu.
Cincin
kawin Sri.
Dibawahnya
terselip secarik kertas di atas amplop coklat yang kemarin dibawanya.
~
"Assalamualaikum Mas Bastian.
Saat Mas baca surat ini
mungkin aku sudah sampai di kampung halamanku kembali...
Semalaman aku nggak bisa
tidur, Mas. Aku terus berpikir. Aku tidak mungkin membohongi perasaanku lagi.
Maaf, Mas. Aku rasa sebaiknya kita berpisah saja. Jangan Mas salah mengartikan
dan mengira aku tak lagi cinta. Aku mencintaimu, Mas. Hanya saja ada bagian
dari diriku yang tak lagi merasakan gejolak yang sama. Memaksakan perasaan ini
cuma akan menyakiti hatiku dan juga hatimu. Kita nggak mungkin bersama Mas.
Kamu berhak mencari kebahagiaanmu sendiri. Begitupun aku.
Sungguh aku mencintaimu,
Mas. Tapi hati ini sudah terlanjur sakit. Sekali lagi aku minta maaf.
Wassalam,
(Masih) istrimu" ~
Dan
tanganku pun bergetar hebat.
***
2
Minggu kemudian,
Terlihat
seorang wanita menunduk terisak, tenggelam dalam hujan, di sisi pusara dengan
tanah masih kemerahan. Raut penyesalan tampak di wajahnya.
Lirih
dia berujar, "Andai saja kata perpisahan itu tak pernah terucap,"
sambil terus mengelus-elus perutnya, "mungkin anak ini masih akan bertemu
dengan ayahnya."