Jumat, 03 Desember 2010

Waspada ama Parno, emang beda tipis...



Padang, 3 Desember 2010, 13.30 WIB

Hari ini sama sekali bukan Hari libur Nasional. 

Cuaca memang sedikit mendung, tapi seharusnya ga akan membuat Pasar Raya Padang sesepi ini yang di hari-hari biasa bahkan dengan cuaca hujan deras tetap beroperasi. Bukan hanya itu, Plaza Andalas, Gramedia, Kampus-kampus dan toko-toko lainnya sepanjang jalan yang saya lalui hari ini juga memilih untuk berhenti beraktifitas pada jam-jam sibuk seperti ini. Lalu kondisi apakah yang menyebabkan berhentinya hampir seluruh di Padang  hari ini?

Gempa.

Yup, mungkin semua bakalan berpikir,’ah wajarlah pasar sepi, soalnya barusan gempa’. Tapi yang membuatnya jadi aneh adalah gempanya sudah jelas diumumkan tidak menimbulkan tsunami, eh masih aja pada ngungsi. Miris banget ngeliatnya, seakan-akan gembar gembor informasi mengenai ciri-ciri gempa yang menimbulkan tsunami jadi ga ada artinya.

Sebagian berdalih “waspada”, padahal hal ini sudah bisa disebut parno alias paranoid. Hehe bukannya menghakimi, tapi bener toh.. Gempa pun sudah diumumkan berpusat di daratan bukannya laut dengan skala 4.2 SR, jauh lebih kecil dibandingkan dengan gempa 30 September lalu. Tapi agaknya, bayang-bayang gempa setahun yang lalu itu ga pernah lepas dari ingatan warga Kota Padang.

Ditambah lagi, terima kasih banyak buat para orang-orang iseng yang dengan setia menebar isu-isu gempa dahsyat di Padang hingga mencapai 11 SR,yang tentu saja membuat warga Kota Padang dan sekitarnya makin panik. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang kembali ke Kota asalnya karena memandang Padang sudah tidak aman.

Sepertinya pemikiran masyarakat tentang perbedaan waspada dengan parno sudah mengabur. Alangkah lebih baik kita menelaah kembali. Memikirkan dan mempersiapkan jalur evakuasi, itu waspada. Tidak mau menginjakkan kaki ke daerah pesisir pantai, itu parno. Mempersiapkan barang-barang untuk evakuasi itu waspada. Tapi evakuasi pindah ke Kota lain itu parno. BMKG mengeluarkan peringatan tsunami, masyarakat mengungsi ke daerah yang lebih tinggi, itu tindakan tanggap. Tapi menghentikan seluruh aktifitas setelah gempa dengan skala kecil yang telah nyata-nyata dinyatakan tidak berpotensi tsunami oleh BMKG????

Tidakkah rasional kalau itu disebut parno?
Apakah itu berarti kita harus berhenti beraktifitas sehari-harinya apabila kita sadari kalo gempa bisa datang kapan saja dan dimana saja?
Kemanakah kita harus melarikan diri kalo saja kita menyadari kalo bencana bisa terjadi di Kota mana saja?

Mungkin tiap individu memiliki alasan mereka sendiri atas pertanyaan-pertanyaan di atas, tergantung kondisi dan kepentingan masing-masing. Tapi haruskah kita mengesampingkan logika?

Apa/siapa yang seharusnya kita takuti?
Gempa dan Tsunami, atau PENGUASA YANG BERKEHENDAK ATAS KEJADIAN-KEJADIAN TERSEBUT???

Hendaknya semua itu menjadi renungan bagi kita semua.
Kun fayakun.. Jika Allah berkata,”Jadi..” maka terjadilah..

0 komentar:

Posting Komentar