Jumat, 20 April 2012

Cinta yang (Belum) Selesai

Tik. Tok. Tik. Tok.

Sudah hampir satu setengah jam aku duduk mematung hanya memandanginya yang tertidur lelap di sisi lain tempat tidur King Size ini. Satu tangannya tergeletak di pangkuanku seakan menahanku agar tak pergi. Tetapi beranjak pun aku, ia tak akan sadar. Aku yakin ia tidur cukup nyenyak hingga tak akan terusik bila ada gempa sekalipun. Perlahan kuamati punggungnya yang tertutup selimut itu bergerak naik turun seiring helaan nafasnya. Sayup-sayup dengkuran lembut terdengar dari tenggorokannya. Ah, seingatku sudah berkali-kali kukatakan padanya untuk tidak tidur tengkurap agar ia tak kesulitan bernafas, tapi seperti biasa selalu direspon dengan cengiran khasnya.

Cinta.

Hanya satu kata itu yang bisa aku lontarkan ketika benak ini menyerbuku dengan ribuan pertanyaan. Aku sangat mencintai laki-laki ini. Tidak ada yang tidak aku kagumi dari dirinya kecuali satu, ketidaksetiaannya. Ia bisa sangat mencintaiku sementara di sisi lain dari dirinya selalu mencari kehangatan dari wanita lain. Aku pernah sangat ingin meninggalkannya sebelum ia akhirnya meminta maaf dan berjanji tak akan mengulangi. 

"Aku tidak ingin anakku yang dikandung oleh wanita yang sangat aku cintai lahir tanpa ayah, Sri", kalimat pamungkasnya yang menghentikan langkahku untuk pergi waktu itu. Tapi janji setia itu tak bertahan lama. Bayi yang kutunggu-tunggu ternyata tidak ditakdirkan untuk menyatukan ayah ibunya. Aku keguguran. Dan seperti yang telah aku kira, suamiku kembali mengulangi kesalahannya. 

Dua bulan sudah kami tak bertemu, dan sekarang aku kembali di sini. 

Di sisinya. 

Surat cerai yang tadinya aku bawa untuk ditandatanganinya dibiarkan tergeletak di meja kamar hotel. Aku hanya bisa menghela nafas. Tak kusangka aku begitu lemah terhadap uraian air matanya yang memohon. Dengan mudah aku luluh dalam pelukannya yang berakhir di kamar ini. Beginikah ia menjerat wanita-wanita itu agar bersedia menghabiskan malam dengannya walaupun mereka mengetahui ia pria beristri? Atau menikahkah yang ia janjikan kepada mereka? Aku tak pernah tahu. Yang aku tahu pasti, aku sudah kembali terjebak dalam situasi yang tidak jelas ini. 

Perlahan aku beranjak dari tempat tidur. Aku harus melakukan sesuatu yang seharusnya dari dulu kulakukan. Aku ambil secarik kertas dan mulai menulis. Aku harus menyelesaikannya secepat mungkin sebelum Mas Bastian terbangun dan mendapatiku masih di sini.

~ "Assalamualaikum Mas Bastian...." ~

***

Ah, sudah pagi. 

Aku menggeliat sejenak meregang syaraf-syaraf dan ototku agar terbangun sempurna. Tidur yang sangat nyenyak sejak, well, hampir dua bulan dihantui mimpi buruk. Tentu saja mulai hari ini tak akan ada lagi hari tanpa mimpi indah karena Sri sudah kembali kepadaku. Aku sudah membulatkan tekad sejak terakhir kali ia pergi dari rumah. Aku ingin berubah. Aku ingin kembali menjadi Bastian yang hanya mencintai istrinya, Sri. Aku ingin Sri tahu betapa keras usahaku meninggalkan semua kebiasaan burukku. Minuman keras yang tak lagi kusentuh, klub-klub malam yang tak lagi kusinggahi, bahkan perempuan-perempuan malam yang tak lagi kulirik. Semua hanya karena aku ingin Sri kembali kepadaku.

Hampir saja semua usahaku gagal ketika kulihat kemarin sore ia mengajakku bertemu hanya untuk mengantarkan surat cerai itu. Sri yang terlihat agak kurus, tapi begitu manis, membuatku ingin segera memeluknya. Persetan dengan surat cerai itu. Tak akan terlintas sedikitpun di pikiranku untuk berpisah dari istriku. Dan aku telah mengutarakan janji itu padanya semalam. Malam panjang yang bahkan lebih indah daripada malam pertama kami dulu.

"Sri.."

Dimana dia? 

Sesuatu yang berwarna putih berkilau terkena cahaya matahari menarik perhatianku. Aku menarik selimutku dan berjalan mendekati benda itu.

Cincin kawin Sri.

Dibawahnya terselip secarik kertas di atas amplop coklat yang kemarin dibawanya.

~ "Assalamualaikum Mas Bastian.
Saat Mas baca surat ini mungkin aku sudah sampai di kampung halamanku kembali...
Semalaman aku nggak bisa tidur, Mas. Aku terus berpikir. Aku tidak mungkin membohongi perasaanku lagi. Maaf, Mas. Aku rasa sebaiknya kita berpisah saja. Jangan Mas salah mengartikan dan mengira aku tak lagi cinta. Aku mencintaimu, Mas. Hanya saja ada bagian dari diriku yang tak lagi merasakan gejolak yang sama. Memaksakan perasaan ini cuma akan menyakiti hatiku dan juga hatimu. Kita nggak mungkin bersama Mas. Kamu berhak mencari kebahagiaanmu sendiri. Begitupun aku.
Sungguh aku mencintaimu, Mas. Tapi hati ini sudah terlanjur sakit. Sekali lagi aku minta maaf.
Wassalam,
(Masih) istrimu" ~

Dan tanganku pun bergetar hebat.

 
***


2 Minggu kemudian, 

Terlihat seorang wanita menunduk terisak, tenggelam dalam hujan, di sisi pusara dengan tanah masih kemerahan. Raut penyesalan tampak di wajahnya. 

Lirih dia berujar, "Andai saja kata perpisahan itu tak pernah terucap," sambil terus mengelus-elus perutnya, "mungkin anak ini masih akan bertemu dengan ayahnya."