Rabu, 02 Mei 2012

The Lady in a Green Suit

What's wrong with the lady in a green suit?

Gw barusan negur seorang cewek yang masih muda (25-an, red)  yang menurut gw ga punya tata tertib. Katakanlah gw juga ga pernah ikut sekolah kepribadian, tapi dari kecil gw yakin kita semua pernah dibekalin sama yang namanya norma ,atau dalam bentuk yang lebih sederhananya etika, dari lingkungan keluarga sejak masih kecil. Apa yang boleh, apa yang ga boleh, dan apa yang ga sopan, rasanya udah menjadi hal yang lumrah kita pahami dalam berkehidupan sosial. 

So, apa yang dilakuin cewek berbaju stelan (baca: blazer) hijau nan steady itu? She picked up each strawberry which stick on many pieces of cake without eating the whole cake, evenmore, in this formal occassion. Tentu aja gw spontan berekspresi jijik akibat membayangkan puluhan orang lainnya yang akan menikmati kue itu, yang ada bekas tangan si cewek saat nyomotin strawberry penghias kue.

Oh God. Ga pake ba bi bu, langsung gw tegur, "eh, Mbak, itu sekalian kali dimakan kuenya.."

MBI (Mbak Baju Ijo) : ga kok, saya Cuma mau stroberinya. Hihi..

Yaelah, doi kira gw mau basa basiin dia makan kuenya kali, padahal kan gw Cuma mo nyuruh dia tanggung jawab. Helloooow...

Gw : ya tapi kan ga enak aja yang belakangan makan sisa2 tangan sampeyan.

MBI : ga kena tangan kok (cengengesan sambil tetep nyomot2 stroberi dengan tangan kanan megang stroberi dan tangan kiri menahan posisi kue)

Dafuq. How come dia bisa bilang itu ga melibatkan dua tangan? 

Dan gw pun berlalu sambil ninggalin ekspresi jijik dalam ingatan doski. Masa bodo deh dia marah, lha wong dia sendiri ga punya tata tertib nyentuh2 kue yang bakal dikonsumsi orang lain. Moreover, siapa yang bisa jamin coba itu tangan udah bersih? 

Can't we think before we do such thing? A lot of people will also eat that cake. We have our own part, so why don't just consume ours without screwing what we weren't owned? That what elder usually called "ga ada etiket". Lain cerita kalo kita lagi kemping atau ospek ya saat makan dengan tangan, bareng-bareng di alas makan yang sama jadi simbol kebersamaan.

And, by the way, female hulk, ga maksud menggurui ya, but its better to keep our attitude as much as we keep our performance best. *melengos....*

Jumat, 20 April 2012

Cinta yang (Belum) Selesai

Tik. Tok. Tik. Tok.

Sudah hampir satu setengah jam aku duduk mematung hanya memandanginya yang tertidur lelap di sisi lain tempat tidur King Size ini. Satu tangannya tergeletak di pangkuanku seakan menahanku agar tak pergi. Tetapi beranjak pun aku, ia tak akan sadar. Aku yakin ia tidur cukup nyenyak hingga tak akan terusik bila ada gempa sekalipun. Perlahan kuamati punggungnya yang tertutup selimut itu bergerak naik turun seiring helaan nafasnya. Sayup-sayup dengkuran lembut terdengar dari tenggorokannya. Ah, seingatku sudah berkali-kali kukatakan padanya untuk tidak tidur tengkurap agar ia tak kesulitan bernafas, tapi seperti biasa selalu direspon dengan cengiran khasnya.

Cinta.

Hanya satu kata itu yang bisa aku lontarkan ketika benak ini menyerbuku dengan ribuan pertanyaan. Aku sangat mencintai laki-laki ini. Tidak ada yang tidak aku kagumi dari dirinya kecuali satu, ketidaksetiaannya. Ia bisa sangat mencintaiku sementara di sisi lain dari dirinya selalu mencari kehangatan dari wanita lain. Aku pernah sangat ingin meninggalkannya sebelum ia akhirnya meminta maaf dan berjanji tak akan mengulangi. 

"Aku tidak ingin anakku yang dikandung oleh wanita yang sangat aku cintai lahir tanpa ayah, Sri", kalimat pamungkasnya yang menghentikan langkahku untuk pergi waktu itu. Tapi janji setia itu tak bertahan lama. Bayi yang kutunggu-tunggu ternyata tidak ditakdirkan untuk menyatukan ayah ibunya. Aku keguguran. Dan seperti yang telah aku kira, suamiku kembali mengulangi kesalahannya. 

Dua bulan sudah kami tak bertemu, dan sekarang aku kembali di sini. 

Di sisinya. 

Surat cerai yang tadinya aku bawa untuk ditandatanganinya dibiarkan tergeletak di meja kamar hotel. Aku hanya bisa menghela nafas. Tak kusangka aku begitu lemah terhadap uraian air matanya yang memohon. Dengan mudah aku luluh dalam pelukannya yang berakhir di kamar ini. Beginikah ia menjerat wanita-wanita itu agar bersedia menghabiskan malam dengannya walaupun mereka mengetahui ia pria beristri? Atau menikahkah yang ia janjikan kepada mereka? Aku tak pernah tahu. Yang aku tahu pasti, aku sudah kembali terjebak dalam situasi yang tidak jelas ini. 

Perlahan aku beranjak dari tempat tidur. Aku harus melakukan sesuatu yang seharusnya dari dulu kulakukan. Aku ambil secarik kertas dan mulai menulis. Aku harus menyelesaikannya secepat mungkin sebelum Mas Bastian terbangun dan mendapatiku masih di sini.

~ "Assalamualaikum Mas Bastian...." ~

***

Ah, sudah pagi. 

Aku menggeliat sejenak meregang syaraf-syaraf dan ototku agar terbangun sempurna. Tidur yang sangat nyenyak sejak, well, hampir dua bulan dihantui mimpi buruk. Tentu saja mulai hari ini tak akan ada lagi hari tanpa mimpi indah karena Sri sudah kembali kepadaku. Aku sudah membulatkan tekad sejak terakhir kali ia pergi dari rumah. Aku ingin berubah. Aku ingin kembali menjadi Bastian yang hanya mencintai istrinya, Sri. Aku ingin Sri tahu betapa keras usahaku meninggalkan semua kebiasaan burukku. Minuman keras yang tak lagi kusentuh, klub-klub malam yang tak lagi kusinggahi, bahkan perempuan-perempuan malam yang tak lagi kulirik. Semua hanya karena aku ingin Sri kembali kepadaku.

Hampir saja semua usahaku gagal ketika kulihat kemarin sore ia mengajakku bertemu hanya untuk mengantarkan surat cerai itu. Sri yang terlihat agak kurus, tapi begitu manis, membuatku ingin segera memeluknya. Persetan dengan surat cerai itu. Tak akan terlintas sedikitpun di pikiranku untuk berpisah dari istriku. Dan aku telah mengutarakan janji itu padanya semalam. Malam panjang yang bahkan lebih indah daripada malam pertama kami dulu.

"Sri.."

Dimana dia? 

Sesuatu yang berwarna putih berkilau terkena cahaya matahari menarik perhatianku. Aku menarik selimutku dan berjalan mendekati benda itu.

Cincin kawin Sri.

Dibawahnya terselip secarik kertas di atas amplop coklat yang kemarin dibawanya.

~ "Assalamualaikum Mas Bastian.
Saat Mas baca surat ini mungkin aku sudah sampai di kampung halamanku kembali...
Semalaman aku nggak bisa tidur, Mas. Aku terus berpikir. Aku tidak mungkin membohongi perasaanku lagi. Maaf, Mas. Aku rasa sebaiknya kita berpisah saja. Jangan Mas salah mengartikan dan mengira aku tak lagi cinta. Aku mencintaimu, Mas. Hanya saja ada bagian dari diriku yang tak lagi merasakan gejolak yang sama. Memaksakan perasaan ini cuma akan menyakiti hatiku dan juga hatimu. Kita nggak mungkin bersama Mas. Kamu berhak mencari kebahagiaanmu sendiri. Begitupun aku.
Sungguh aku mencintaimu, Mas. Tapi hati ini sudah terlanjur sakit. Sekali lagi aku minta maaf.
Wassalam,
(Masih) istrimu" ~

Dan tanganku pun bergetar hebat.

 
***


2 Minggu kemudian, 

Terlihat seorang wanita menunduk terisak, tenggelam dalam hujan, di sisi pusara dengan tanah masih kemerahan. Raut penyesalan tampak di wajahnya. 

Lirih dia berujar, "Andai saja kata perpisahan itu tak pernah terucap," sambil terus mengelus-elus perutnya, "mungkin anak ini masih akan bertemu dengan ayahnya."

Sabtu, 25 Februari 2012

Terpikir, Tak Terucap 2

Seperti seluruh alam semesta menjadi musuhku..

Saat merindukan dada bidang yang selalu menjadi sandaran airmataku..
Saat terbayang ulasan senyum dan deraian tawa yang dulu selalu mewarnai hari-hariku..
Saat mengenang hangatnya genggaman tangan yang selalu mampu mengusir kegundahanku..

Saat merindukan belaian jemari itu di kepalaku jika pemiliknya merajuk manja..
Saat terbayang jutaan mimpi yang dirajut berdua dengan benang cinta..
Saat mengenang suara yang lembut mengiringiku merebahkan diri di peraduan..

Bahkan tak seorangpun bisa menyalahkan makhluk Tuhan dengan cinta yang tak berbalas..
Lantas mengapa aku jadi begitu hina hanya dengan masih mengharapkan ia yang pernah begitu menyayangiku..

Ya..
Setengah mati aku akan merangkak keluar dari terowongan kesedihan dan kenangan masa laluku..
Tapi aku mohon jangan larang aku untuk berharap cinta itu kembali ada untukku..

Terpikir, Tak Terucap 1

Tetesan tetesan kristal garam itu masih setia mengalir mengantarkan tidur lelap dan menyambut pagiku..

Begitu juga sandiwara malam dengan aktor yang sama yang tak pernah kuminta untuk dimainkan..

Mengapa? Apa sebabnya? Tak bisakah?
Dan jutaan frasa yang mengiringi pertanyaan - pertanyaan lainnya tak sanggup berjuang melewati pangkal tenggorokan begitu menatap sepasang bola hijau kecoklatan yang tak lagi ramah..
Sepasang mata yang tadinya berwarna cinta yang aku begitu cantik di dalam pantulannya.

Lalu kenapa memulai dengan membuat prolog dan memberi gambaran akan epilog yg bahagia bila sendirinya enggan melanjutkan cerita..